Bring closer woven craft from women microenterprises
  • 04
  • 03
  • 01
  • 02
  • 05
  • 06
  • 07
  • 08
  • 09
  • 10
  • 11
  • 12
  • 13
  • 14
  • 15
  • 16
  • klaten2-1
  • klaten2-2
  • klaten3
  • Nindya-yoga-bag-&-mat
  • Coin-Pouch
  • Fitria-bag
  • Nindya-yoga-bag-&-mat
  • shanti-bag

artikel hide dari TENUN BRIBIL

TENUN BRIBIL

Kemandirian Perempuan di Emperan Rumah

Kompas, 2 Juli 2009
(Mawar Kusuma)

Dalam bayang-bayang Perbukitan Batur Agung di utara Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, tak seorang perempuan pun yang menghabiskan harinya dengan menganggur. Di emperan rumah sederhana mereka, bisa dijumpai kemandirian perempuan desa. Mereka menjadi tiang utama penopang perekonomian keluarga petani ladang tadah hujan.

Seluruh perempuan dari 95 keluarga di Dusun Doyo, Desa Jambakan, Kecamatan Bayat, yang terletak di perbatasan Kabupaten Gunung Kidul, dengan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, memproduksi kain tenun dengan alat tenun bukan mesin yang biasa disebut tostel.

Rabu (1/7), Darsih (28) menggulung benang sepanjang 500 meter ke sebuah alat berbentuk roda yang disebut grengsi. Benang itu lalu dicelup air, dililitkan pada teropong sebelum dipintal pada tostel. Tostel dari kayu jati yang bergerak dengan pijakan kaki itu dimiliki keluarga Darsih secara turun-temurun.

Sementara itu, ibu Darsih, Lasiyem (60), menenun benang berwarna hitam dan putih menjadi selendang tenun bribil. Selendang ini biasa digunakan kaum ibu untuk menggendong barang ketika pergi ke pasar. Dari 500 meter benang, Lasiyem bisa memproduksi 100 selendang.

Setiap hari Lasiyem dan Darsih menghabiskan waktu luang dengan menenun. Mereka bisa memproduksi 10 kain tenun per hari masing-masing sepanjang 2,5 meter. Mereka hanya berhenti menenun ketika memasuki musim tanam di ladang tadah hujan.

Pekerjaan menenun hanya dikerjakan kaum perempuan. Kaum pria, seperti suami Darsih dan Lasiyem, mencari uang dengan merantau ke kota sebagai buruh bangunan dan pengayuh becak.
Kain tenun dijual Rp 80.000 per lembar dan mendapat keuntungan bersih Rp 30.000. Harga benang hitam Rp 4.500 per kilogram, sedangkan benang putih Rp 15.000 per kilogram. Kain tenunan dijual ke Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Harga seperangkat alat tenun yang terbuat dari kayu jati itu Rp 800.000. Selain membuat selendang tenun bribil, perempuan di dusun itu juga membuat kain lurik.
Pedagang benang memasok kebutuhan seluruh perajin tenun. Sementara pedagang lain menyusuri tiap rumah warga sepekan sekali untuk membeli kain tenunan warga.

Sejak kecil

Darsih mengaku, anak perempuan di dusun itu belajar menenun sejak sekolah dasar. Mereka biasa menenun dari pukul 07.30 hingga pukul 16.30. ”Ini pekerjaan turun-temurun dan seumur hidup,” kata Darsih sembari tertawa.

Tetangga Darsih, Mbah Citro Pawiro, juga menghabiskan hampir seluruh hidupnya yang sudah menginjak 80 tahun di emperan rumahnya sambil menenun. Emperan rumah dinilai paling cocok untuk menenun karena mendapat banyak sinar matahari.

Mbah Citro menyatakan akan terus menenun hingga matanya tak lagi sanggup menata benang-benang halus di alat tenun kayu miliknya.

Berbeda dengan para tetangganya yang menenun dengan alat tenun kayu tostel, Mbah Citro masih memanfaatkan alat tenun gendong dengan kapasitas produksi lebih rendah dan menyedot tenaga.
Alat tenun itu diikatkan di pinggang Mbah Citro. Kekuatan alat tenun jenis gendong ini terletak pada tarikan tubuh renta Mbah Citro, bukan kayuhan kaki. Dalam satu hari, alat tenun gendong hanya bisa memproduksi satu lembar kain.

Sembari bekerja sebagai buruh tani, Mbah Citro hanya sanggup menenun satu lembar kain tenun dalam tiga hari. Dari kegiatan itu, ia dan suami mendapat penghasilan. Saat ini suami Mbah Citro sudah tidak mampu bekerja karena usia tua.

Tak hanya di Dusun Doyo, seluruh perempuan di Desa Jambakan juga memanfaatkan waktu luang untuk memproduksi kain tenun. Para perempuan di Dusun Tancep, Jurangjero, Gunung Kidul, juga menenun di samping menghias kain pesta dengan payet serta membuat batik dengan pewarnaan alami.
Para perempuan lain yang tak punya cukup banyak waktu untuk menenun dan tak punya cukup dana untuk membeli alat tenun pun tak mau ketinggalan. Mereka memasok gulungan benang dengan proses penggulungan menggunakan grengsi dengan harga Rp 150.000 per grengsi.

Ratmi (42) yang ditemui di rumahnya sibuk menggulung benang dengan grengsi sambil mengasuh dua anak balitanya. Di sela pekerjaan rumah, dia bisa menggulung satu kilogram benang per hari dengan upah Rp 4.000-Rp 5.000. ”Daripada hanya duduk, lebih baik menggrengsi. Meski sedikit, lumayan untuk tambahan beli lauk,” kata Ratmi.

Para perempuan di perbatasan Gunung Kidul-Klaten ini membuktikan bahwa perempuan tak hanya menjadi ibu rumah tangga. Sembari bekerja di dapur dan mengasuh anak, mereka tetap mampu berproduksi dan mendapatkan penghasilan.

Dengan kemandirian perempuan yang mayoritas hanya tamatan sekolah menengah pertama ini, kemandirian desa pun terbangun meski jauh dari ingar-bingar kapitalisme global.